The Formation of ‘Indonesian Gangs’ in Japan: Escapism or Culture?

Kajima HIMA HI UNPAD
12 min readSep 19, 2024

--

Source: X (Twitter)

Introduction

Kekerasan, penipuan, pemerasan; ketika kita mendengar hal seperti itu dalam konteks Jepang, yang pasti terpikir adalah Yakuza. Apabila mendengar kata Yakuza, mungkin kita mengasosiasikan mereka dengan kekerasan, penipuan, dan pemerasan. Namun, meskipun Yakuza merupakan organisasi kriminal paling terkenal, tidak menutup kemungkinan adanya organisasi kriminal lainnya di Jepang. Organisasi kriminal dapat bertransformasi menjadi transnasional. Keberadaannya dapat melintasi batas negara. Triad, yaitu mafia asal Cina, juga aktif di Jepang. Ada pula geng Toa-kai, yaitu organisasi kriminal yang didirikan oleh orang keturunan Korea. Dunia kriminal Jepang yang beragam ini sering menjadi pusat perhatian dalam media dan film, terutama dalam seri permainan video Yakuza.

Namun, akhir-akhir ini terlihat munculnya pemain baru dalam dunia hitam Jepang, yaitu kelompok kriminal asal Indonesia. Beberapa minggu lalu, viral di media sosial segerombolan WNI karena meresahkan warga Osaka, Jepang. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi motivasi mereka yang mendapatkan kesempatan tinggal di negara maju seperti Jepang untuk membentuk geng?

Why are there Yakuza Wanna-be PMI in Japan?

Untuk memahami fenomena PMI -Pekerja Migran Indonesia- membentuk geng, kita harus memahami bagaimana organisasi kriminal terbentuk pada umumnya. Mengapa sekelompok orang membentuk geng. Selain itu, bagaimana faktor migrasi memainkan perannya dalam fenomena tersebut. Namun, sebelum itu, kita akan masuk ke definisi geng terlebih dahulu.

Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendefinisikan geng sebagai kelompok terorganisasi yang terdiri dari tiga orang atau lebih dengan identitas kolektif yang berfokus pada aktivitas kriminal. Geng terbentuk karena faktor sosial ekonomi dan seringkali dibentuk oleh minoritas sosial. Karena kaum minoritas biasanya miskin dan dikucilkan, mereka terpaksa bergantung pada geng untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memajukan kepentingannya, geng melakukan intimidasi terhadap masyarakat sekitar agar tunduk, biasanya dalam bentuk pemerasan, atau agar masuk ke dalam geng supaya terlindung dari intimidasi. Geng juga menjanjikan perlindungan bagi masyarakat rentan untuk meningkatkan anggotanya dan memperluas pengaruhnya. Keberadaan geng dapat disebut sebuah siklus di mana pada awalnya geng itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat yang miskin dan dikucilkan, tetapi lama kelamaan geng itu meluas karena masyarakat di dalam wilayah geng harus ikut agar aman dari intimidasi geng itu sendiri.

Source: Japan Powered

Sense of belonging, atau rasa diterima oleh lingkungan, juga menjadi alasan besar bagi pemuda untuk membentuk dan mengikuti geng. Kaum minoritas dihadapi dengan diskriminasi, pengucilan, dan kesenjangan ekonomi, sehingga tidak dapat merasa diterima di lingkungan umum. Hasilnya, mereka membuat lingkungan sendiri untuk merasa diterima dan memenuhi kebutuhan emosional maupun materialnya.

Kondisi para pekerja migran tentu saja membuat mereka merasa teralienisasi. Mereka dihadapkan dengan lingkungan kerja baru yang jauh lebih ketat daripada yang di Indonesia. Budaya kerja di Jepang sudah menjadi beban berat, bahkan mematikan bagi warganya sendiri, apalagi pekerja migran. Peluang kerja bagi kebanyakan pekerja migran juga sangat terbatas, sehingga muncul kesenjangan ekonomi antara mereka dengan warga sekitar. Ditambahkan budaya Jepang secara umum yang sangat berbeda dengan budaya Indonesia, tidak heran jika pekerja migran itu terdorong untuk membuat lingkungan sendiri untuk merasa diterima.

Hal inilah yang terjadi pada fenomena pembentukan ‘geng WNI’ di Jepang yang inisiatornya terdiri atas beberapa PMI yang berasal dari satu etnis tertentu. Mereka mengalami culture shock dan teralienasi dalam lingkungan yang berbeda sehingga mencoba untuk mempertahankan diri dengan membawa budaya lamanya, seperti “jamet” dan menggunakan senjata tajam di ruang publik. Perilaku mereka yang membawa budaya buruk itu kemudian terekspos di media massa dan menyebabkan reaksi yang negatif dari berbagai pihak, seperti berbagai stakeholder di Indonesia dan Jepang serta netizen dari kedua negara yang mengecam tindakan tersebut.

Status of Indonesian migrant workers in Japan

Bagi pekerja migran, Jepang adalah tanah peluang. Di negeri matahari terbit ini, setiap kerja keras adalah benih yang tumbuh menjadi kesuksesan. Seperti seni origami, kesempatan di negeri ini terbungkus rapi dalam kesabaran dan ketekunan. Meniti karier di Jepang menuntut keterampilan yang tinggi, tetapi juga menawarkan penghargaan yang besar bagi mereka yang bersedia belajar dan berkembang. Ada banyak peluang tersembunyi di balik setiap tantangan yang harus dihadapi para pekerja migran dengan usaha keras.

Sebagai imbas dari populasi yang semakin menua dan tingkat kelahiran yang rendah, Jepang saat ini menghadapi krisis tenaga kerja. Jepang merespons fenomena ini dengan membuka banyak peluang bagi pekerja migran, termasuk dari Indonesia. Kerja sama ekonomi antara kedua negara, seperti banyaknya perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia, memudahkan pekerja Indonesia untuk berpindah ke Jepang. Jumlah pekerja Indonesia yang bekerja di Jepang termasuk ke dalam lima yang tertinggi karena (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI], 2024), tingginya kebutuhan tenaga kerja terampil di berbagai sektor industri, seperti konstruksi, kesehatan, pelayanan, dan perikanan. Selain itu, pemerintah Jepang melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia aktif mendampingi pekerja yang berkarier di Jepang untuk membawa keahlian baru mereka ke negara asalnya, Indonesia. Dalam hubungan ini, ada keuntungan yang diperoleh bagi kedua belah pihak. Dengan adanya sumber daya manusia dari Indonesia, Jepang dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Begitu juga bagi para pekerja Indonesia, mereka memperoleh manfaat dari keterampilan dan pengalaman yang lebih baik.

Source: Nikkei Asia

Jepang menjadi salah satu negara tujuan utama para pekerja migran terkhusus yang berasal Indonesia. Kesempatan yang terbuka luas menjadi alasan yang kuat bagi para pekerja migran untuk datang ke negeri sakura. Pada periode Januari hingga Agustus 2024, Status Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Jepang menunjukkan beberapa perkembangan yang cukup signifikan terkait jumlah penempatan dan jenis pekerjaan yang ditekuni oleh para PMI. Total penempatan Pekerja Migran Indonesia di Jepang mencapai 8521 orang, dengan jumlah penempatan yang berubah setiap bulannya (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI], 2024).

Meskipun Jepang masih menjadi salah satu negara tujuan utama Pekerja Migran Indonesia (PMI), data menunjukkan bahwa jumlah penempatan PMI di Jepang telah menurun pada bulan Agustus 2024. Pada bulan Juli, jumlah PMI yang ditempatkan di Jepang tercatat sebanyak 1.328 orang, turun 13,10% menjadi 1.154 orang (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI], 2024). Penurunan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor yang ada, seperti sektor-sektor yang mengalami penurunan permintaan. Selain itu, dinamika penempatan pekerja migran juga dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan baik dari pihak Indonesia maupun Jepang. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan perubahan dalam undang-undang ketenagakerjaan Jepang juga dapat memengaruhi jumlah penempatan PMI secara bertahap.

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 5 September 2024, telah terlaksana Indonesia–Japan Human Resources Forum 2024. Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Jepang dalam bidang ketenagakerjaan melalui forum ini 2024. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan transisi dari skema pemagangan menjadi program peningkatan keterampilan ketenagakerjaan. Dalam forum ini, kedua negara berkomitmen untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia agar siap bersaing di pasar kerja global, dengan target penempatan 100 ribu tenaga kerja terampil dan pemagang teknis Indonesia ke Jepang dalam lima tahun ke depan. Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Japan International Cooperation Agency (JICA) berkolaborasi untuk memastikan penempatan sumber daya manusia (SDM) Indonesia berjalan sesuai prosedur dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Jepang, serta mengadakan berbagai pertemuan bisnis untuk memperkuat kerja sama antara organisasi pengirim dan mitra Jepang.

How Migration and Cultural Networks Affect Adaptation Levels

Fenomena pembentukan geng bernama ‘Geng TKI’ oleh para pekerja migran asal Indonesia di Jepang yang membuat warga lokal resah, penting untuk dapat diteliti lebih lanjut apa alasan mereka berani bertindak demikian. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain tidak terlepas dari faktor ekonomi dan politik dari negara asal maupun tujuan, seperti misalnya terkait dengan perbedaan gaji, standar hidup, dan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari. Asad L. Asad dalam karyanya yang berjudul Migrant Networks menjelaskan bahwa jaringan migran adalah jaringan ikatan sosial yang menghubungkan individu-individu di sending region dengan orang lain di daerah penerima (Garip & Asad, 2015, 1). Gelombang pertama migrasi, misalnya untuk bekerja, membuat lebih banyak individu bisa bergantung pada jaringan yang telah terbentuk untuk bermigrasi ke negara tujuan secara berkelanjutan hingga akhirnya membentuk feedback loop dan terbentuk pola migrasi yang self-sustaining.

Jaringan ini juga yang dapat mengurangi biaya bagi seorang migran dalam mencari pekerjaan, mengurangi risiko culture shock, dan membentuk ikatan sosial baru di lingkungan yang berbeda. Misalnya, pekerja migran Indonesia yang sebagian berasal dari etnis Jawa tentu lebih banyak berkomunikasi dan saling berbagi informasi dengan orang yang berasal dari etnis Jawa. Namun, konteks migrasi dalam pekerja migran tidak terlepas dari struktur pasar tenaga kerja yang terdapat di negara tujuan dan proses adaptasi yang dihadapi oleh para migran (Garip & Asad, 2015, 1). Negara-negara maju yang sedang mengalami penuaan populasi tentunya membutuhkan tenaga kerja baru yang masih fresh dari negara-negara berkembang dan lapangan tersebut biasanya terdapat di sektor pekerjaan informal dan cenderung low-skilled. Misalnya saja, kurang lebih terdapat 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan di Jepang sendiri sebanyak 121.507 orang, meningkat tiga kali lipat dari tahun 2018 (Darwati, 2024). Banyak dari mereka yang masih bekerja di sektor informal dengan tingkat keterampilan yang rendah serta perlakuan yang cukup buruk di tempat kerja.

Source: Kaskus

Di sisi lain, terdapat peran budaya yang cukup menonjol dalam fenomena pembentukan geng WNI yang ada di Jepang. Menurut Vigil, disadvantage dan marginalisasi adalah faktor kunci untuk memahami pembentukan geng yang berkaitan erat dengan perbedaan budaya antara negara asal dan negara tujuan (Decker et al., 2009, 394). Ancaman dan ketakutan menjadi hal yang tidak terelakkan dalam melihat dinamika pergerakan pekerja migran yang membuat para pekerja akhirnya membentuk geng untuk “melepaskan” diri mereka dari realitas yang ada. Culture shock dalam pekerjaan yang dialami oleh pekerja migran asal Indonesia membuat mereka harus bergantung pada jaringan migran yang telah terbentuk sehingga jalan yang dipilih untuk mempertahankan diri adalah dengan membentuk suatu geng.

Berdasarkan data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, sebagian besar pekerja migran berasal dari Pulau Jawa dengan jumlah sebanyak 75.000 selama tahun 2024 hingga bulan April. Data tersebut dapat menjadi bukti pendukung mengenai culture shock antara budaya kerja Indonesia dan budaya kerja Jepang yang berbeda, terutama jika melihat pada Jepang dengan semangat bushido-nya dalam dunia pekerjaan yang kurang lebih serupa dengan negara-negara Asia Timur lainnya (NAKAMURA & writers, 2019). Hal tersebutlah yang akhirnya membuat sebagian pekerja migran asal Indonesia mengalami gejolak dan kaget menghadapinya sehingga mereka, dengan budaya komunal Indonesia yang kental, pada akhirnya membentuk geng dengan embel-embel “Mode Joker” sebagai defense mechanism karena pelariannya dari realitas budaya kerja di Jepang.

Is it escapism or just a culture brought over from Indonesia?

Fenomena migrasi para tenaga kerja Indonesia ke Jepang menjadi respons terhadap kebutuhan Jepang di bidang ketenagakerjaan yang semakin mendesak akibat menuanya populasi dan menurunnya angka kelahiran. Sebagian besar pekerja migran Indonesia dipekerjakan dalam sektor-sektor dengan keterampilan rendah hingga menengah, seperti perawatan lansia dan perhotelan. Program pelatihan seperti Technical Intern Training Program (TITP) dilaksanakan dengan harapan mampu untuk meningkatkan keterampilan para pekerja. Namun, tantangan adaptasi budaya dan tekanan kerja sering kali menjadi suatu tahapan sulit yang harus dihadapi oleh para pekerja migran. Di sinilah muncul isu yang lebih kompleks, yaitu keberadaan geng pekerja Indonesia yang kerap berbuat onar di beberapa wilayah di Jepang. Hal ini menciptakan dinamika baru di kalangan tenaga kerja migran.

Source: IDN TImes

Ketika kita analisis lebih dalam, pembentukan geng pekerja migran Indonesia di Jepang dapat dilihat sebagai bentuk mekanisme pertahanan atau respons terhadap perasaan terasing di lingkungan yang sangat berbeda. Para pekerja migran asli Indonesia yang lahir dan tumbuh bersama budaya dan gaya hidup Indonesia menghadapi tantangan baru dengan pergi merantau dan mengadu nasib di belahan bumi lain. Budaya kerja Jepang yang menuntut kedisiplinan dan etika kerja yang sangat ketat bisa menjadi penyebab culture shock bagi banyak pekerja migran, terutama mereka yang terbiasa dengan pola kerja yang lebih fleksibel di Indonesia. Jaringan sosial yang dibentuk oleh pekerja migran untuk saling mendukung atas dasar rasa senasib seperjuangan terkadang berkembang menjadi geng yang melakukan tindakan yang tidak diinginkan dan tidak sesuai dengan norma setempat. Hal ini bisa terjadi sebagai bentuk pelampiasan frustrasi para pekerja migran akibat ketidakpuasan terhadap kondisi kerja dan hidup mereka.

Di sisi lain, marginalisasi yang dialami oleh pekerja migran, baik dalam bentuk keterbatasan ekonomi maupun sosial semakin memperparah kondisi ini. Ketidakmampuan untuk sepenuhnya berintegrasi dengan masyarakat Jepang dan perasaan terisolasi dapat membuat para pekerja mencari perlindungan dalam kelompok besar. Kelompok besar ini terkadang berubah menjadi geng yang cenderung berperilaku destruktif. Geng ini tidak hanya memberikan perlindungan dari ancaman eksternal, tetapi juga menjadi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan rasa frustrasi yang mereka alami selama menjalani kehidupan mereka yang baru di tanah asing. Dampaknya terhadap masyarakat Jepang juga signifikan, karena tindakan yang kurang bijak dari geng pekerja migran memperburuk citra pekerja Indonesia di mata masyarakat setempat. Hal ini dapat memperkuat stereotype negatif dan menghambat integrasi warga negara Indonesia yang berada di Jepang. Peran pemerintah Indonesia dan Jepang menjadi sangat penting dalam menangani situasi ini dengan menyediakan pelatihan budaya dan bahasa yang lebih komprehensif serta dukungan yang memadai untuk mencegah pembentukan kelompok yang bersifat negatif.

Dengan demikian, fenomena geng pekerja migran Indonesia di Jepang merupakan hasil dari interaksi antara kesulitan adaptasi budaya dan tekanan sosial dan ekonomi. Apakah tindakan tersebut merupakan bentuk escapism dari besarnya tekanan hidup sebagai imigran atau sekadar membawa kebiasaan buruk dari Indonesia, penting untuk memahami dinamika fenomena ini secara mendalam. Dukungan dan kebijakan yang tepat sangat diperlukan untuk membantu para pekerja migran beradaptasi dengan lingkungan baru mereka, serta mendorong integrasi yang lebih harmonis dalam masyarakat Jepang.

Conclusion

Source: Yakuza Fan

Fenomena pembentukan geng oleh beberapa pekerja migran asal Indonesia di Jepang menggambarkan interaksi antara tantangan adaptasi budaya, tekanan ekonomi, culture shock, dan eksklusi sosial yang dialami oleh para pekerja, terutama bagi low-skilled workers. Para pekerja migran yang menghadapi kekerasan dan lingkungan kerja yang merugikan merasa teralienasi dalam lingkungan baru mereka. Masalahnya, hal tersebut tidak terjadi pada satu orang saja sehingga terbentuklah kelompok-kelompok yang pada awalnya dibentuk untuk mempertahankan diri. Namun, kelompok yang dibentuk sebagai pelarian dari realitas yang sulit di negeri orang akhirnya bertransformasi menjadi geng yang meresahkan warga lokal dan mencoreng nama baik Indonesia dengan membawa budaya-budaya buruk dari suatu etnis tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan kebijakan yang mendukung PMI dan penguatan jaringan migran yang telah terbentuk di antara para pekerja migran untuk menciptakan modal sosial dan mengurangi risiko migrasi bagi pendatang baru yang berasal dari Indonesia serta mempromosikan integrasi yang lebih harmonis dalam masyarakat Jepang tanpa mengeliminasi budaya asalnya.

Penulis

Dippo Alam Satrio (HI’22), Kayla Prabaswari Wiyono (HI’23), Sajid Dhiyaurrahman Djunaedy (HI’23)

Editor

Citra Ayu Maharani (HI’22), dan Rivandi Gusniar (HI’22)

Referensi

Azzahra, N. (2024, March). Jepang Krisis Tenaga Kerja, Butuh Banyak Pekerja dari Indonesia (S. Planasari, Ed.). Tempo.co. Retrieved September 12, 2024, from https://dunia.tempo.co/read/1849860/jepang-krisis-tenaga-kerja-butuh-banyak-pekerja-dari-indonesia

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI]. (2024, September). BP2MI | BADAN PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA. BP2MI. Retrieved September 12, 2024, from https://bp2mi.go.id/statistik-detail/data-penempatan-dan-pelindungan-pekerja-migran-indonesia-periode-januari-agustus-2024

Darwati, E. (2024, March 20). TKI di Jepang Melonjak 192%, Ini Penjelasan Dubes Jepang. Ekonomi. Retrieved September 13, 2024, from https://ekonomi.bisnis.com/read/20240320/9/1751030/tki-di-jepang-melonjak-192-ini-penjelasan-dubes-jepang

Decker, S. H., Gemert, F. v., & Pyrooz, D. C. (2009, October 15). Gangs, Migration, and Crime: The Changing Landscape in Europe and the USA. Int. Migration & Integration, 10, 393–408. 10.1007/s12134–009–0109–9

Engber, D. (2005, December 13). How do you start a gang? Slate Magazine. https://slate.com/news-and-politics/2005/12/how-do-you-start-a-gang.html

Garip, F., & Asad, A. L. (2015). Migrant Networks. In R. A. Scott, R. H. Scott, S. M. Kosslyn, & M. C. Buchmann (Eds.), Emerging Trends in the Social and Behavioral Sciences: An Interdisciplinary Searchable, and Linkable Reference for the 21st Century (1st ed., pp. 1–13). John Wiley & Sons, Incorporated. http://dx.doi.org/10.1002/9781118900772.etrds0220

Ishi. (2009). 戦後史の「異端児」の全身像. FACTA ONLINE. https://facta.co.jp/article/200904059.html

Juvenile Justice Bulletin. (1998). Why do youth join gangs? https://ojjdp.ojp.gov/sites/g/files/xyckuh176/files/jjbulletin/9808/why.html

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia [Kemlu RI]. (2024, September). Indonesia dan Jepang kawal penempatan pekerja migran Indonesia dari hulu ke hilir | Portal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. kemlu.go.id. Retrieved September 12, 2024, from https://kemlu.go.id/portal/id/read/6226/view/indonesia-dan-jepang-kawal-penempatan-pekerja-migran-indonesia-dari-hulu-ke-hilir

NAKAMURA, Y., & writers, s. (2019, June 11). Japan inches toward easing foreign workers’ culture shock. Nikkei Asia. Retrieved September 13, 2024, from https://asia.nikkei.com/Spotlight/Asia-Insight/Japan-inches-toward-easing-foreign-workers-culture-shock

Ryall, J., & Ryall, J. (2023, June 11). Massive 700kg ‘ice’ haul spotlights Japanese yakuza links with Chinese gangsters. South China Morning Post. https://www.scmp.com/week-asia/people/article/3223692/massive-700kg-ice-haul-spotlights-japanese-yakuza-links-chinese-gangsters

Shibata, N. (2023, December 9). Labor-rich Indonesia aims to send 100,000 workers to aging Japan. Nikkei Asia. https://asia.nikkei.com/Spotlight/Japan-immigration/Labor-rich-Indonesia-aims-to-send-100-000-workers-to-aging-Japan#:~:text=According%20to%20data%20from%20Japan's,the%20Philippines%2C%20Brazil%20and%20Nepal.

Sonterblum, L. (2016). Gang involvement as a means to satisfy basic needs. https://wp.nyu.edu/steinhardt-appsych_opus/gang-involvement-as-a-means-to-satisfy-basic-needs/

Sutrisna, T., & Ramadhan, A. (2024, September 05). KJRI Osaka Masih Telusuri Keaslian Video Geng WNI di Jepang. Kompas.com. Retrieved September 13, 2024, from https://nasional.kompas.com/read/2024/09/05/12100401/kjri-osaka-masih-telusuri-keaslian-video-geng-wni-di-jepang

--

--

Kajima HIMA HI UNPAD
Kajima HIMA HI UNPAD

Written by Kajima HIMA HI UNPAD

Departemen Kajian dan Keilmuan hadir untuk mengangkat dan mengulas berbagai isu Hubungan Internasional yang sesuai dengan perkembangan zaman

No responses yet