Global Economic Recession : An Analysis
Introduction
“Tahun depan akan gelap.” Kalimat tersebut adalah sebuah kalimat yang disampaikan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, pada Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada awal Agustus lalu. Adapun, ungkapan gelap yang dikeluarkan oleh Jokowi merujuk kepada kondisi perekonomian global yang diprediksi akan mengalami resesi pada 2023 diakibatkan oleh krisis pangan dan energi. Berdasarkan lembaga-lembaga perekonomian global, krisis-krisis yang terjadi dalam banyak sektor ini adalah buah hasil problematika global pada sektor kesehatan, Pandemi Covid-19, yang telah menyebabkan kericuhan di dalam tata kelola global sejak akhir 2019 ataupun konflik internasional seperti Perang Rusia-Ukraina dari Februari lalu yang hilal penyelesaiannya belum tampak sampai saat ini. Covid-19 sendiri sebagai suatu virus penyakit berdampak besar terhadap perekonomian global disebabkan oleh efeknya yang mengharuskan pengurangan kontak fisik antarmanusia yang mana tentunya membuat setiap pemerintah tidak punya pilihan lain selain memberlakukan kebijakan-kebijakan tertentu yang memerosotkan ekonomi rakyatnya. Namun, setelah tiga tahun ini, seluruh negara telah mencoba untuk mengeluarkan kebijakan di mana masyarakat dapat beradaptasi dengan kondisi pasca Covid demi memperbaiki perekonomian global. Oleh karena itu, ketika krisis Rusia dengan Ukraina dengan dampak-dampaknya yang masif secara internasional terjadi bersamaan dengan adaptasi ini, hal inilah yang diprediksi sebagai penyebab resesi ekonomi pada 2023.
Russia-Ukraine War
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina memiliki pengaruh yang besar terhadap terjadinya krisis pangan dan energi global pada saat ini. Lantas, apa yang menyebabkan suatu anggapan ini eksis? Anggapan ini berhasil eksis yang sebagai hasil dari konflik yang sangat mempengaruhi negara-negara di Eropa setelah Rusia melancarkan “operasi militer khusus”-nya ke Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu. Adapun, diketahui pula bahwa operasi militer yang diperintahkan oleh Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia terhadap banyak kota pada negara dengan penduduk berjumlah sekitar 40 juta orang tersebut berdalihkan “demiliterisasi” dan “denazifikasi” penduduk Ukraina serta bukan merupakan okupasi. Operasi militer yang dilakukan oleh Rusia ini berawal dari deklarasi oleh pidato Putin sendiri dengan mengakui kemerdekaan dari dua negara bagian Ukraina, Donetsk dan Luhansk, dan akan mengirim pasukan militernya ke dalam wilayah dua negara bagian tersebut sebagai peacekeeping forces atau alat penjaga perdamaian. Pada minggu pertama operasi tersebut, serangan dari militer Rusia mencoba untuk mengepung dan memblokade kota-kota krusial di bagian utara, timur laut dan timur dari Ukraina. Walaupun tujuan utama dari operasi tersebut adalah Kiev sebagai ibukota Ukraina, Rusia belum mampu untuk menembus Kiev dan mendapatkan jalur transportasi dari bantuan militer Ukraina yang mempertahankan Kiev.
Ketika membahas konflik ini, dapat diketahui bahwa salah satu sektor yang terdampak besar adalah krisis energi. Ancaman krisis energi ini nyata disebabkan karena harga minyak yang mengalami peningkatan tinggi di kawasan mengingat keberadaan Rusia sebagai pemasok 40 persen gas alam di Uni Eropa serta pemasok 27 persen minyak ke Benua Eropa bukanlah suatu rahasia umum lagi. Selain dampak ekonomi pada masalah energi, konflik ini juga menyebabkan krisis pangan global dengan gandum sebagai problematika utamanya. Dunia internasional, terkhususnya negara-negara Eropa, memiliki ketergantungan impor gandum yang berasal dari Rusia dan Ukraina. Oleh karena itu, sejak perang dimulai, harga gandum dan bahkan jagung menjadi sangat fluktuatif.
Condition in Europe
Eropa sebagai benua termaju saat ini, juga tak luput dari ancaman resesi. Bisa dibilang merupakan daerah yang paling terdampak dari Resesi yang akan terjadi. Setelah dihantam Gelombang Pandemi Covid-19, Eropa kembali menghadapi tekanan besar dengan meletusnya Perang Rusia-Ukraina pada Februari tahun ini. Tekanan paling besar dari Perang ini adalah kemungkinan krisis energi yang akan berdampak besar pada Negara negara di Eropa, khususnya saat pada Musim dingin nanti. Hal ini mulai berdampak ke banyak negara negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman hingga Turki. Di Inggris sendiri, tekanan ekonomi telah terjadi semenjak negara tersebut memutuskan keluar dari Uni Eropa, atau lebih dikenal dengan Brexit (British Exit). Kebijakan yang diambil pada masa perdana menteri Boris Johnson ini membawa dampak besar, dengan penurunan ekspor ke Uni Eropa terjadi secara cepat. Aturan pembatasan yang dilakukan oleh UE kepada Inggris semenjak Brexit, membuat Ekspor turun hingga 40 % pada periode antara Desember 2020 dan Januari 2021. Ditambah dengan Kenaikan harga energi secara signifikan, imbas dari Perang Rusia-Ukraina membuat Ekonomi Inggris mengalami pukulan hebat, dengan penurunan ekonomi diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2024, dan angka pengangguran akan semakin meningkat. Bank of England sendiri menyebut bahwa Ekonomi Inggris kedepannya akan “sangat menantang”, dengan penurunan PDB sebesar 0,75% pada paruh kedua tahun 2022. BOE sendiri telah telah mengumumkan kenaikan suku bunga 0,75% pada kamis (03/11/2022), kenaikan terbesar sejak 1989. Kondisi Politik Inggris yang tidak stabil, juga turut mempengaruhi kondisi Ekonomi di Inggris, terutama kebijakan Ekonomi ‘Trickle down’ yang dibuat oleh Mantan perdana menteri Inggris, Liz Truss, memicu kekacauan ekonomi. Sementara di Jerman, Negara yang dikenal sebagai Debitur paling baik di Eropa, mengalami tekanan besar dalam perekonomian nya, terutama disebabkan oleh krisis energi. Krisis energi yang disebabkan dari meletusnya Perang Rusia-Ukraina, benar benar mempengaruhi perekonomian Jerman. Selain Harga Energi yang melonjak, kepercayaan konsumen juga melemah, sementara ekspor Jerman semakin melemah. IMF memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Jerman akan semakin melambat, dengan 2,9% pada tahun lalu, menjadi 1,2 % pada tahun 2022. Selain itu, Obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga ‘sepi’ peminat. Obligasi 5 tahun yang dikeluarkan oleh Badan Keuangan Jerman, “hanya” terjual 1,78 miliar Euro pada awal bulan lalu, dengan total tawaran adalah 4 miliar Euro, yang berarti tidak mencapai setengah dari target. Ketergantungan Jerman pada Energi terhadap Rusia, berdampak buruk setelah meletusnya Perang. Gas Rusia tersebut dialirkan lewat Pipa bawah laut Nord Stream (1 dan 2). Namun penerimaan Gas tersebut terus menurun, dari yang sebelumnya mereka mendapat 55 % gas nya dari Rusia, menjadi hanya 35 % pada musim panas ini. Berbagai cara ditempuh, salah satunya adalah dengan memperpanjang penggunaan Pembangkit listrik tenaga Nuklir di negara tersebut, dengan opsi penggunaan batubara kembali demi kebutuhan mereka, terutama di Musim dingin nanti. Sementara di Turki, Inflasi yang terjadi membuat Harga harga barang naik, dan mata uang Turki, yaitu Lira, semakin melemah. dilansir dari CNBC, Inflasi yang kembali terjadi di Bulan Oktober, menandakan untuk ke-17 kalinya secara berturut turut Inflasi di Turki naik, dan telah menyentuh angka 85,5%. Dalam periode yang sama tahun lalu, Harga makanan telah meningkat 99%, dan harga perumahan naik 85%, serta harga transportasi naik 117%. Selain karena masalah Pandemi Covid-19 dan Perang Rusia-Ukraina, Inflasi di Turki yang terus naik juga disebabkan oleh Kebijakan Kontroversial Presiden Erdogan, yang terus menurunkan suku bunga, berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara di dunia. Presiden Erdogan sendiri menggambarkan suku bunga sebagai “Ibu dan Ayah” dari segala kejahatan, dan bertekad untuk terus menurunkan suku bunga hingga menjadi satu digit. CBRT, atau Bank sentral Turki telah memangkas suku bunga dari 12% menjadi 10,5% pada bulan lalu, meski dengan kondisi inflasi di angka 83%. Saat ini Lira diperdagangkan sebesar 18.61 terhadap dollar, menandakan telah kehilangan 50% nilainya setahun penuh terakhir. Secara keseluruhan di Uni eropa sendiri, IMF memprediksi bahwa resesi akan terus berlanjut, dan tahun 2023 akan lebih sulit dibanding tahun 2022. Meski memuji pembuat kebijakan Uni Eropa, Kepala IMF yaitu Georgieva, mengatakan bahwa tantangan besar ada di depan. IMF sendiri memprediksi zona euro akan berkembang sebesar 3,1% pada tahun 2022, namun hanya 0,5% pada tahun depan, dengan Jerman dan Italia diproyeksikan akan mendapat -0,3% dan -0,2% pada tahun depan.
Global Recession
Di zaman Globalisasi seperti sekarang, dalam kehidupan dunia yang saling terkait, dimana berbagai hal akan saling mempengaruhi, baik dalam konotasi baik maupun buruk. Begitu juga dalam bidang ekonomi, dikenal efek domino, terutama saat kita membahas tentang resesi global. Tekanan Ekonomi yang terjadi beberapa tahun ini, sangat mempengaruhi perekonomian global, baik negara berkembang maupun negara maju dan kaya. Setelah Pandemi yang berlangsung lama, membuat diberlakukannya pembatasan dimana mana, membuat ekonomi lesu, dan Inflasi terjadi di banyak negara. Belum pulih dari hal tersebut, tekanan itu kembali muncul dengan meletusnya Perang Rusia-Ukraina februari tahun ini. Perang ini mengakibatkan naiknya harga harga barang, utamanya Minyak dan Gas, dengan Rusia menjadi salah satu negara produsen. Selain itu Krisis pangan juga merupakan efek lain yang disebabkan oleh perang ini. Negara negara besar saat ini telah berjuang untuk bisa keluar dari Krisis ini, dimana negara negara seperti Amerika serikat, Cina, dan 19 negara pengguna Euro menunjukkan perlambatan Ekonomi. Di Amerika serikat, The Fed, telah berusaha mengatasi Inflasi yang terjadi dengan menaikkan suku bunga kembali pada 2 November, ke angka 3,75% hingga 4%. Menurut Jamie dimon, Kepala Eksekutif JPMorgan Chase, mengatakan kemungkinan Amerika akan berada “dalam semacam Resesi enam hingga sembilan bulan dari sekarang. Sementara di Cina, Lockdown yang kembali dilakukan akan mempengaruhi Ekonomi nya, dengan proyeksi tingkat pertumbuhan hanya di angka 3,2% tahun ini, setelah tumbuh di angka 8,1% pada tahun sebelumnya. Selain Lockdown, masalah Krisis properti di Cina, dimana para pemilik yang kekurangan uang menolak untuk membayar kembali pinjaman pada properti yang belum selesai, bisa berdampak besar pada perekonomiannya. IMF memperingatkan, masalah krisis properti ini bisa meluas ke perbankan domestik di negara tersebut. Sementara ketergantungan Eropa pada Gas Rusia, membuat negara negara tersebut menghadapi kemungkinan Krisis energi, sementara Pariwisata menjadi sektor penopang dari perekonomian Eropa. Beberapa upaya yang diambil justru menciptakan masalah tersendiri, seperti kebijakan Perdana menteri Liz Truss soal Pajak dan Pengeluaran, mendapat banyak penolakan dari kalangan Investor. Hal ini membuat Bank sentral Inggris (Bank of England), meningkatkan Intervensi nya dalam Pasar Obligasi Inggris. Pemerintah memiliki banyak cara untuk bisa mengatasi Inflasi, sesuai dengan situasi dan kebutuhan pemerintah saat itu. Salah satunya, pemerintah bisa melakukan Pengurangan pajak, meski hal ini membuat pemerintah kehilangan tingkat pendapatan dari pajak, namun hal ini bisa berdampak positif, dengan membuat lebih banyak uang di kantong konsumen. Namun perlu dipastikan bahwa Uang yang ada pada konsumen, akan digunakan untuk kegiatan ekonomi, seperti membelanjakannya di Toko. Hal ini akan merangsang ekonomi untuk kembali tumbuh dan berkembang, sehingga bisa mempertahankan daya beli masyarakat. Berikutnya adalah dengan meningkatkan belanja pemerintah. Hal ini bukanlah sebuah Pemborosan apabila diarahkan pada sektor sektor penting seperti pembangunan Infrastruktur, karena dapat menciptakan lapangan kerja. Uang yang dikeluarkan pemerintah akan masuk ke kantong para pekerja, sehingga mereka memiliki uang untuk dibelanjakan. Hal ini lebih baik dibanding pemerintah membayar tunjangan kesejahteraan untuk mereka, karena selain memberi pemasukan bagi mereka, juga membuat Infrastruktur di waktu bersamaan. Terakhir adalah dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga. Hal ini disesuaikan dengan kondisi saat itu, apakah sedang terjadi Inflasi atau Deflasi sehingga hal tersebut bisa mendorong pemulihan ke depannya.
The Solution of Global Recession
Kerja sama internasional adalah salah satu solusi dalam menghadapi resesi global. Hal tersebut dapat dilihat dari aksi internasional yang dipimpin oleh G20. Terdapat tiga hal utama yang dapat menjadi kebijakan dalam menghadapi resesi. Pertama, negara harus menurunkan inflasi. Hal ini menjadi prioritas karena inflasi yang tinggi dapat menurunkan kesempatan dalam pemulihan dan semakin berpengaruh terhadap standar hidup. Kedua, kebijakan fiskal yang efisien. Negara-negara yang memiliki tingkat utang yang tinggi perlu memperketat kebijakan fiskal. Hal ini dapat membantu untuk mencegah inflasi yang tinggi. Para pembuat kebijakan harus membuat rencana fiskal jangka panjang yang dapat berpengaruh positif terhadap moneter. Selain itu, kebijakan fiskal harus membantu dan tidak menghalangi upaya bank sentral untuk menurunkan inflasi.
Bank Sentral memiliki peran yang penting dalam membantu turunnya inflasi. Bank Sentral perlu mengkomunikasikan kebijakan dan menjaga indepensi mereka. Hal ini dapat membantu mengurangi ekspektasi inflasi yang terjadi. Ketiga, kerjasama internasional yang dapat dipimpin oleh G20. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari terjadinya potensi konflik berkelanjutan dan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Kunci dalam kerjasama internasional adalah membangun kembali kemajuan dalam berbagai bidang, termasuk dalam perdagangan dan perubahan iklim. Hal ini juga dapat didukung oleh peran berbagai aktor, seperti World Food Programme atau WFP yang menjadi media untuk membantu mengurangi tingkat kelaparan di dunia. Peran lain juga ditunjukkan oleh IMF atau International Monetary Fund untuk membantu dengan bekerja sama dengan mantra internasional dalam inisiatif kebijakan pangan multilateral. Selain itu, berbagai hal dapat dilakukan untuk membantu mencegah resesi adalah dengan meringankan kendala pasar tenaga kerja, meningkatkan pasokan komoditas global, dan memperkuat jaringan perdagangan global.
Recession in Indonesia
Resesi menjadi tantangan secara global karena berbagai krisis yang terjadi akibat terganggunya pasokan rantai makanan, inflasi yang tinggi, dan tingginya tensi geopolitikal. Jawaban atas tantangan global ini dapat terjadi ketika negara bekerja sama untuk menentukan solusi yang menguntungkan semua pihak dan mencegah terjadinya resesi. Meskipun begitu, Indonesia berada di posisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain. Kondisi ekonomi nasional Indonesia memiliki performa yang baik dan meningkat. Terdapat kenaikan ekonomi sebesar 5%, inflasi yang terkendali, dan stabilitas (The Jakarta Post, 2022). Selain itu, kondisi perbankan Indonesia dalam keadaan yang baik akibat risiko manajemen dan pembiayaan yang baik. Pemerintah Indonesia memiliki keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 akan melewati target 5% akibat kinerja ekspor dan tingkat belanja konsumen nasional.
Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu negara yang aman dari ancaman resesi karena terdapatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Indonesia memiliki permintaan domestik yang besar, alur perekonomian dan inflasi yang terjaga. Indonesia dinilai dalam posisi yang lebih baik dibandingkan negara lain dalam hal menghindari potensi resesi. Meskipun begitu, masih terdapat kemungkinan yang dapat terjadi sehingga kewaspadaan harus tetap ada.Pemerintah Indonesia terus mendorong kewaspadaan masyarakat akan ancaman resesi global 2023. Terdapat beberapa hal yang dapat memperkuat ekonomi dalam negeri Indonesia yaitu konsistensi produksi dari berbagai sumber daya alam, perkembangan industrialisasi, pertumbuhan produksi pangan, industri kreatif yang inovatif, memperkuat daya beli untuk mempertahankan perputaran ekonomi. Indonesia juga dapat menjadi tempat yang baik untuk melakukan investasi. Selain itu, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan Indonesia untuk dapat terhindar dari resesi yaitu mengimbangi kebijakan kenaikan suku bunga dengan kebijakan fiskal, makroprudensial, dan reformasi struktural.
The Solution of Recession in Indonesia
Dalam menghadapi resesi yang semakin nyata datangnya, Indonesia menyiapkan beberapa langkah untuk menghadapi kondisi tersebut. Setidaknya ada tiga strategi pemerintah Indonesia dalam menghadapi resesi global yaitu memberdayakan ekonomi domestik yang sangat besar, pengendalian inflasi khususnya inflasi pangan, dan yang terakhir adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia (Putri, 2022).
Indonesia terbilang terselamatkan oleh ekonomi lokal yang cukup kuat, hal tersebutlah yang menyelamatkan Indonesia dari krisis pada awal pandemi 2020 silam. Potensi pasar domestik sangatlah besar tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat berkolaborasi untuk memaksimalkan hasil yang diinginkan. Pengendalian inflasi dan memperbaiki iklim investasi juga perlu dilakukan Indonesia guna memperkuat perekonomian bangsa.
Conclusion
Supaya Indonesia mampu untuk mengatasi resesi dengan optimal maka diperlukan kolaborasi dari segala lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah hingga rakyat harus gotong royong untuk menyelamatkan perekonomian. Tentu mengatasi resesi bukanlah hal yang mudah, namun dengan kolaborasi dari berbagai pihak akan sangat membantu Indonesia untuk keluar dari ancaman resesi. Ketidakpastian kondisi global serta krisis-krisis yang datang memang di luar kendali kita, akan tetapi sikap kita dalam menghadapi hal tersebutlah yang ada dalam kendali kita sendiri sebagai bangsa Indonesia. Semoga Indonesia mampu untuk mengatasi ancaman resesi dan bahkan melihat adanya peluang dari krisis ini.
Penulis
Hafizha Alifya (HI’20), Adriel Razaqa Iman (HI’19), Habib Arsyad Hamdani (HI’21), Raja Azhar (HI’22)
Editor
Fakhri Sabiq (HI’19)
Referensi
CNN Indonesia. (2022, October 13). Daftar Negara yang Lolos Resesi Global. Retrieved from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20221013071451-532-859866/daftar-negara-yang-lolos-resesi-global
CNN Indonesia. (2022, October 18). Saran Bank Dunia Agar Ekonomi RI Tak Runtuh di Tengah Ancaman Resesi. Retrieved from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20221018125006-532-862066/saran-bank-dunia-agar-ekonomi-ri-tak-runtuh-di-tengah-ancaman-resesi
Georgieva, K. (2022, July 13). Facing a Darkening Economic Outlook: How the G20 Can Respond. Retrieved from imf.org: https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2022/07/13/blog-how-g20-can-respond
Kirby, J., & Guyer, J. (2022, March 6). Russia’s war in Ukraine, explained. Vox.Com. https://www.vox.com/2022/2/23/22948534/russia-ukraine-war-putin-explosions-invasion-explained
Kusa, I. (2022). Russia-Ukraine War: Harbinger of a Global Shift. Policy Perspectives, 19(1). https://doi.org/10.13169/polipers.19.1.ca2
Nugraheni, N. A. (2022, October 11). Tempo.co. (S. D. Andryanto, Editor) Retrieved from Tempo Bisnis: https://bisnis.tempo.co/read/1643915/jokowi-sebut-perekonomian-global-tahun-depan-gelap-apa-itu-resesi-ekonomi
Tempo. (2022, October 11). ‘Indonesia Won’t Be Hit by Recession in 2023': Erick Thohir. Retrieved from en.tempo.co: https://en.tempo.co/read/1644175/indonesia-wont-be-hit-by-recession-in-2023-erick-thohir
The Jakarta Post. (2022, October 19). Indonesia remains stable in the face of global economic recession. Retrieved from thejakartapost.com: https://www.thejakartapost.com/adv/2022/10/19/indonesia-remains-stable-in-the-face-of-global-economic-recession.html
The World Bank . (2022, September 15). Risk of Global Recession in 2023 Rises Amid Simultaneous Rate Hikes. Retrieved from worldbank.org: https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2022/09/15/risk-of-global-recession-in-2023-rises-amid-simultaneous-rate-hikes
Karen Gilchrist. (2022, November 3). UK faces longest recession since records began, Bank of England says. Retrieved from cnbc.com:
https://www.cnbc.com/2022/11/03/bank-of-england-uk-faces-longest-ever-recession.html
Julia Horowitz. (2022, October 25). Britain’s ‘profound economic crisis’ gives Rishi Sunak only unpleasant choices. Retrieved from CNN Business:
https://edition.cnn.com/2022/10/25/economy/rishi-sunak-uk-economy-crisis-choices/index.html
BBC. (2022, October 18). Germany extends nuclear power amid energy crisis. Retrieved from BBC.com: https://www.bbc.com/news/world-europe-63294697
IMF. (2022, July 22). Germany Faces Weaker Growth Amid Energy Concerns. Retrieved from IMF european department:
https://www.imf.org/en/News/Articles/2022/07/21/cf-germany-faces-weaker-growth-amid-energy-concerns
Samuel. I, Harry R. (2022, October 27). Germany needs billions to solve its energy crisis, but buyers are shunning its bonds. Retrieved from Reuters.com:
BBC. (2022, October 3). Inflation in Turkey surges to 83%. Retrieved from BBC.com:
https://www.bbc.com/news/world-europe-63120478
Natasha Turak. (2022, November 3). Turkey’s inflation tops 85% as Erdogan continues to rule out interest rate hikes. Retrieved from CNBC.com:
Oleksandra.V, Jorge.L.. (2022, October 27). Energy crisis: Half of eurozone countries are heading for a recession, IMF’s chief predicts. Retrieved from Euronews.com:
Alan Rappeport. (2022, October 11). A Warning for the World Economy: ‘The Worst Is Yet to ‘Come’. Retrieved from NYtimes.com:
https://www.nytimes.com/2022/10/11/business/imf-world-economy-forecast.html
Rachel. S, Emily W. (2022, July 28). What Causes a Recession?. Retrieved from Washingtonpost.com:
https://www.washingtonpost.com/business/interactive/2022/what-causes-a-recession/
Putri, R. S. (2022, October 16). Ini 3 Strategi Pemerintah Menghadapi Ancaman Resesi 2023. Bisnis Tempo.co. Retrieved November 12, 2022, from https://bisnis.tempo.co/read/1645908/ini-3-strategi-pemerintah-menghadapi-ancaman-resesi-202